Selasa, 01 Maret 2011

AKHIR KEJAYAAN AS

Belakangan ini negara superpower AS menghadapi tekanan ekonomi hebat. Belum selesai dgn skandal memalukan yg menimpa Enron Corporation negara itu kini dilanda skandal serupa. Korporat sekelas Xerox Corp Walt Disney dan WorldCom juga melakukan hal serupa. Xerox Corp diduga memanipulasi pembukuan. Meski belum dibuktikan secara hukum indikasi ini terlihat dari adanya gap revenue sebesar US$2 miliar pada periode 1997-2000. Xerox diduga telah melakukan kesalahan perhitungan akuntansi atas revenue sebesar US$6 miliar. Jumlah ini tidak sama dgn taksiran Securities and Exchange Commission seperti terbaca dalam settlement dgn korporat itu April lalu. Menurut SEC nilai revenue dari 1997-2000 diperkirakan hanya US$3 miliar . Akibat manipulasi tersebut pada 5 Juli 2002 Xerox didenda US$10 juta. Walt Disney Company juga mengalami hal serupa. WDC pada 28 Juni 2002 menyatakan pihaknya melaporkan data keuangan yg salah utk 2 tahun fiskal krn kesalahan matematis. Menurut Disney pendapatannya pada tahun fiskal 2001 adl US$613 juta atau US$29 cent per lembar saham. Sebelumnya dilaporkan nilainya US$358 juta atau US$17 cent per lembar saham . Bencana keuangan yg paling menghancurkan kepercayaan investor adl WorldCom Inc. Skandal manipulasi pembukuan WorldCom ternyata merupakan kasus penipuan terbesar sekaligus kepailitan terdahsyat dalam sejarah ekonomi AS. Pada 25 Juni 2002 WorldCom mengumumkan ditemukannya lbh dari US$38 miliar kesalahan akuntansi yg menyebabkan WorldCom melanggar beberapa perjanjian utang. Akibat kabar itu yg sehari kemudian disusul dgn pengaduan SEC atas tuduhan penipuan kemungkinan akan mengakhiri korporat telekomunikasi bermasalah tersebut keluar dari spiral keuangan yg mematikan . Terakhir ekonomi AS kembali terguncang oleh skandal akuntansi senilai US$124 miliar yg dilakukan oleh korporat farmasi Merck yg dibukukan sebagai pendapatan anak korporat dalam tiga tahun terakhir tapi ternyata tidak pernah benar-benar terkumpul. Akibat berbagai skandal pembukuan tersebut bursa Wall Street mengalami tekanan indeks dan para investor mengalami kerugian luar biasa. Indeks Dow Jones turun 3105 poin atau 034% menjadi 9.348 . Padahal pada 5 Juli 2002 Dow Jones memecahkan rekor pencapaian indeks sejak 24 September 2001 setelah terjadinya aksi terorisme di AS. Indeks Nasdaq juga jatuh sebanyak 1292 poin atau 089% menjadi 1.43544. Indeks S&P 500 turun 253 poin atau 026% menjadi 9865 poin. Saham Merck sendiri yg merupakan salah satu saham teraktif di bursa New York turun US$186 atau 38% menjadi US$47. Meskipun masih perlu terus diikuiti perkembangannya skandal demi skandal yg terjadi di AS ini semakin membuktikan kebenaran berbagai analisis penulis sebelum ini bahwa kejayaan ekonomi AS tampaknya akan segera berakhir . Memang selama lbh dari 20 tahun ini AS selalu berhasil mengatasi berbagai masalah perekonomian dan keuangan berat. Diawali dgn inflasi tak terkendali pada awal 1980-an yg berhasil diatasi jauh lbh cepat dari perkiraan ekonom. Termasuk di dalamnya krisis simpan pinjam ancaman dari pesaing asing pada 1980-an anjloknya bursa saham 1987 krisis keuangan Asia 1997 dan kegagalan Long Term Capital Management pada 1998 dan terakhir resesi akibat serangan ‘911′. Salah satu kunci keberhasilan AS keluar dari masalah-masalah sulit tersebut adl adanya kesediaan dari semua pihak utk mengakui bahwa memang ada masalah serius. Kemudian pengakuan tersebut diikuti berbagai langkah utk melakukan perubahan. Krisis saat ini juga mengikuti pola yg sama. Meski terlambat para regulator politisi dan eksekutif korporat akhirnya sadar bahwa memang ada masalah serius yg harus segera diatasi. Akibat maraknya praktek manipulasi pembukuan itu Presiden George W Bush kemudian memerintahkan SEC utk memaksa para eksekutif korporat utk melakukan revisi ulang terhadap pembukuan selama 5 tahun berturut-turut dimulai tahun 2001 ke belakang. Bush juga mendesak Kongres segera mengesahkan proposal Gedung Putih yg berisi 10 butir poin legislasi yg menyangkut perbaikan pertanggungjawaban korporat. Dia meminta pihak otoritas terkait menyeret para eksekutif korporat nakal ke meja hijau utk dikenai hukuman kurungan badan dan dilarang menduduki jabatan puncak di tiap korporat. Pertanyaannya cukupkah berbagai langkah ”penyelamatan” pemerintah AS kali ini bisa mengulang kesuksesan sebelumnya? Tampaknya akan sangat sulit bagi AS utk bisa mengulang sejarah kesuksesannya dalam mengatasi masalah berat ekonominya. Terdapat beberapa kondisi yg menyebabkan krisis AS kali ini sungguh berbeda dgn sebelumnya. Pertama kini tingkat kepercayaan investor terhadap korporat di AS sudah sangat rendah. Jajak pendapat Bloomberg News awal Juli ini menemukan bahwa 69% masyarakat AS percaya bahwa korporat-korporat AS melakukan kebohongan dalam dokumen keuangan. Angka ini lbh buruk jika dibandingkan dgn survei Maret lalu yg menemukan angka 51%. Sementara itu jajak pendapat Gallup Poll Juni lalu menunjukkan bahwa tingkat prosentase kepercayaan publik terhadap sektor korporat AS hanya sekitar 20% - angka terendah sejak 1981. Faktanya akibat berbagai skandal memalukan itu para fund manager segera bereaksi dgn menarik dana dari saham kemudian dialihkan ke dalam instrumen surat utang pemerintah AS khususnya US Treasury yg sementara dianggap aman. Namun kekhawatiran adanya ”ledakan-ledakan” susulan yg bakal terjadi di AS membuat para fund manager beranggapan bahwa AS ternyata mulai ”tidak aman”. Tingkat yield investasi di US Treasury Bond dinilai sangat rendah. Mereka mulai melirik Euro serta mata uang Eropa lainnya sebagai kondisi normal yg bisa disebut ”flight to quality”. Para fund manager tidak melihat lagi daya tarik investasi pada US$ bahkan dianggap berisiko tinggi. Belum lagi masalah defisit neraca berjalan AS yg terus membengkak akibat melonjaknya anggaran militer pemerintah. Belanja militer utk kegiatan antiterorisme naik US$95 miliar. Prospek utk US$ tidak lagi begitu menarik ketimbang Euro dan lainnya. Pialang kondang George Soros memprediksikan nilai US$ akan anjlok hingga sepertiga . Antisipasi hengkangnya investor dari AS membuat Euro dan negara Eropa lainnya menjadi negara tujuan investasi langsung dan tidak langsung. Bahkan beberapa bank sentral negara yg tidak senang dgn kebijakan politik dan ekonomi AS seperti negara-negara Arab akan cenderung melakukan konversi US$ menjadi Euro. Kedua skandal memalukan itu telah menyebabkan nilai US$ terlihat kurus dan lemah. Pada 26 Juni lalu US$ menyentuh US$983 sen per Euro tingkat terendah atas mata uang itu sejak Februari 2000. Kemudian nilai beli US$ terhadap yen Jepang juga hanya 120 yen kurs terkecil sejak September 2001. Sejak 1 April 2002 saat dimulainya periode tergelincirnya nilai US$ US$ telah kehilangan lbh dari 11% nilainya atas mata uang utama dunia . Apa implikasi penurunan nilai US$ secara terus menerus ini? Beberapa ekonom terkemuka dan analis pasar mengatakan jika tren penurunan nilai US$ berlanjut maka ini berarti masalah besar bagi perekonomian. Inflasi akan melonjak perekonomian asing yg dikendalikan ekspor akan menderita dan tak banyak yg bisa dilakukan oleh Bank Sentral . Usaha The Fed utk menghentikan penurunan US$ dgn menaikkan tingkat suku bunga akan merugikan sektor riil yg justru membutuhkan stimulus moneter berupa rendahnya cost of money. Memang penurunan US$ saat ini masih relatif teratur. Namun tren terjadinya bencana ’susulan’ atas nilai US$ tampaknya tak bisa dielakkan. Mengapa? Pertama dua prasyarat keruntuhan US$ sudah terlihat defisit perdagangan yg besar dan krisis kepercayaan investor. Per April 2002 defisit perdagangan AS naik menjadi US$359 miliar setelah mencatat rata-rata US$316 miliar per bulan selama kuartal I 2002. Meningkatnya defisit perdagangan itu diperkirakan akan mengurangi 1% atau lbh pertumbuhan PDB kuartal II. Kedua AS juga memiliki problem jangka panjang berupa berkurangnya modal asing sehingga membatasi ekspansi perekonomian AS. Jika pada 1995-2001 pembelian saham dan obligasi korporat oleh investor asing naik hampir 10 kali lipat dan investasi langsung modal asing naik 6 kali lipat maka tahun lalu pembelian saham dan obligasi korporat oleh investor asing turun 24% dan investasi langsung modal asing turun 63% . Erosi kepercayaan terhadap korporat AS tampaknya tidak akan berhenti setelah kasus terakhir Merck terungkap. Ini mengingat prediksi paling mutakhir kasus-kasus serupa tampaknya akan semakin banyak yg terungkap. Mengapa demikian? Sesungguhnya sinyalemen praktek kotor ini sudah diketahui sejak lama. Setidaknya ini terbaca dari hasil investigasi Business Week yg dipublikasikan pada 14 Mei 2001 yg bertajuk The Number Game. Investigasi associate editor Business Week David Henry terhadap lusinan laporan keuangan dari berbagai korporat di AS itu menyebutkan setidaknya terdapat 34 korporat AS yg melakukan trik pembukuan utk mendongkrak revenue korporat serta menyesatkan para investor. Investigasi David Henry ini tentu tidak asal-asalan. Jika kemudian berkat investigasinya itu ia dianugrahi Gerald Loeb Award utk jurnalisme di bidang bisnis dan keuangan maka dapat diperkirakan laporan Business Week itu cukup tepercaya. Itu artinya jika sekarang baru terungkap sekitar 10 kasus manipulasi pembukuan maka masih ada puluhan lagi skandal korporat AS yg belum terungkap. Ketiga selain menghadapi badai ekonomi yg demikian sulit AS juga dihadapkan dgn ketakutan yg dibuatnya sendiri. Kini ancaman terorisme terus menghantui pemerintah AS. Dengan situasi seperti ini maka konsentrasi Presiden Bush akan terpecah. Belum lagi di dalam negeri sendiri Bush juga harus menghadapi lawan politiknya dari Partai Demokrat yg tentunya akan memanfaatkan momentum berbagai skandal ini sebagai amunisi politiknya utk menjatuhkan citra Bush. Dalam situasi yg serba sulit ini maka jelas AS kini mengalami fase-fase yg mencemaskan. Sulit diprediksikan AS akan bisa keluar dari kemelut ini. Kalau pun bisa maka itu membutuhkan waktu yg cukup lama krn proses reformasi keuangan di sektor korporat yg kini tengah dilakukan membutuhkan waktu dan proses yg lama.


Oleh Sunarsip Director of Center for Indonesian Reform Staf Pengajar STAN Depkeu RI Sumber Republika

0 komentar:

Posting Komentar